Semoga tulisan ini bisa menjadi
bahan renungan bagi saya dan kalian,
Perjalanan hidup seseorang
terkadang dapat diibaratkan seperti ilmu matematika dimana terdapat titik tertinggi
dan titik terendah seperti dalam materi bahasan menentukan titik beku. Dalam
sebuah perjalanan waktu manusia sering dihadapkan pada suatu keadaab dimana
titik terendah dan titik tertinggi itu tidak bisa dihindari.
Membahagiakan ketika titik tertinggi dapat
tercapai dan sangat kecewa dan sedih ketika titik terendah itu datang , seolah
dua hak yang seperti dua sisi mata uang itu selalu melewati masanya silih
berganti. Pengalaman itupun juga saya rasakan saat ini, kemarin dan lampau
suatu ketika saya merasa berada dititik tertinggi dan seketika terhempas jatuh
ketitik terendah dalam hidup saya rumit memang menghadapainya, namun semua
harus tetap saya jalani dengan penuh rasa sabar dan sedikit harap-harap cemas.
Berkaca dengan pengalaman saya sewaktu duduk
dibangku MI saya pernah merasa dalam titik terendah dimana mungkin mereka
sahabat2 saya dalam kondisi keuangan yang siap dan matang juga limpahan
kebendaan yang lebih dari cukup membuat saya merasa tidaklah pantas saya jika
berdampingan dengan mereka namun saya salut dengan mereka yang menjadi sahabat
saya mereka bisa saling mengisi satu sama lain meski tidak dipungkiri memang
terdapat anggapan terhadap mereka yang merasa lebih dari saya dan kami , semua
itu saya terima dengan ikhlas karena bagi saya menuntut ilmu sangatlah penting
soal hasil akhir itu bukan wilayah kuasa saya.
Saat itupun berganti dengan kesenangan dan
buat saya merasa itulah titik tertinggi saya waktu itu. Saya masuk kesekolah
smp negeri dan itu menjadi perwujudan dari kedua orang tua saya, sangat senang
karena dengan begitu hati kedua orang tua saya sangat senang. Kehidupan kembali
berputar banyaknya dan beragamnya siswa di smp membuat semangat sangat saya
surut , dikala mereka dihujani dengan berbagai fasilitas yang lengkap sementara
banyak keterbatasan yang saya miliki, sempat menarik diri dari pergaulan karena
saya merasa tidak dapat mengikuti dan mengimbangi, namun disaat-saat titik
terendah itu terus menghantui saya mereka muncul menjadi sahabat sejati yang
tidak pandang bulu mereka berkecukupan namun sangat santun dan rendah hati.
Meski saya hanya dari kalangan biasa mereka merangkul dan bahkan berteman baik
dengan saya, saat itu saya merasa dalam titik tertinggi saya bisa memiliki
sahabat-sahabat sebaik mereka, i love u so much.
Perpisahan memang tidak dapat
dihindari kebersamaan di smp berakhir dengan kesedihan. Saya yang memilih untuk
masuk sma yang bagu sementara sahabat2 terbaik saya melanjutkan ke sma yang
bagus juga. Keinginan akan itu pun terbendung terbentur karena hasil tes masuk
tidak memuaskan danmumpuni. Saya masih
mempunyai harapan bahwa mungkin meski bukan harapan dan keinginan yang saya mau
tetapi saya bisa survive ditempat yang saat itu saya tidak tahu dimana dan
seperti apa perwujudannya.
Syukur dan alhamdulillah saya
masuk sekolah sma negeri dengan meski tidak seperti keinginan saya dan saya
bisa mengikuti dengan baik, namun perasaan akan tidak nyaman masih menghantui
saya, mimpi akan masuk sma itu terus bergelayut dalam otak saya membuat rasa
syukur saya terkadang terasa cacat dan luntur, namun Allah punya cara
tersendiri untuk mengingatkan hambanya dengan mengirimkan sahabat terbaik yang
pernah ada dalam hidup saya, mengantarkan saya kepada pemahaman dan pemikiran
baru tentang rasa syukur, betapa tidak sahabat saya bercerita bahwa temannya
sampai pingsan dan tidak mau makan hanya mengurung diri dikamar ketika tahu ia
tidak bisa masuk sma kami. bahkan sampai saya juga melihat sendiri ketika
pengumuman akan masuk sma banyak diantara mereka mereka yang menangis hebat
ketika dinyatakan tidak masuk, semula saya hanya melihatnya sebagai suatu hal
yang berlebihan. Dari sana saya mulai mencintai sma dengan hati saya berbaur
dengan teman2 yang baik dan banyak pelajaran hidup yang saya peroleh dari sana
saat itulah saya merasa titik tertinggi saya pada masa itu.
Berlanjut kemudian ada masa
dimana saya hendak akan melanjutkan jenjang pendidikan tinggi , spmb adalah
cara saya menempuhnya. Takdir berkata lain saya tidak lolos smpb, saat itu saya
menyadari sebuah perasaan yang dulu pernah saya anggap suatu hal yang
dilebih-lebihkan ternyata seperti ini, sakit. Saat itu saya merasa Allah
menghukum saya akan kesombongan saya 3 tahun lalu kemudian dengan penuh
penyesalan saya memohon ampun dan berjanji tidak akan pernah memungkiri terhadap
nikmat yang Allah berikan kepada saya karena saya menyadari ketika kita terlalu
berharap akan segala apapun dan tidak mengikhlaskannya jika Allah punya rencana
lain yang lebih tepat untuk dirikita. Kebesaran dan kemaha kasih sayangnya Allah
mengirimkan sahabat sma saya untuk ikut bersamanya mendaftar ke kampus saya
sekarang. Dengan masih dibayang-bayangi kesedihan akan smpb sayapun ikut
bersamanya dan dari situlah saya merasa titik tertinggi saya dimulai. Memiliki
sahabat baru yang bengitu mencintai saya dan kami telah diuji dengan berbagai
cara dan situasi namun alhamdulillah kami bisa bisa melewati ujian masuk
perguruan tinggi negeri dan masa kuiah kami selami ini lebih dengan penuh
warna. Rasa senang, sedih, suka, duka, bersitegang, ceria, tertawa kami lewati
dengan penuh sukacita.
Semua itu saya rasakan sebagai
berkah dan kabar bahagia, meski saya sendiri belum menapaki jalan yang saya
sendiri tidak tahu seperti apa kedepannya, akan kemana langkah saya akan
tertuju, apakah cita-cita saya selanjutnya akan tercapai? entahlah saat ini
saya sedang berusaha melakukan apa yang menjadi alur hidup saya, belajar, menyehatkan
diri dan fikiran saya. Ada sedikit ganjalan dalam hati yang masih tersimpan
yaitu keinginan saya untuk mebahagiakan kedua orang tua saya dan membuat mereka
bangga akan diri saya, namun sampai saat ini saya belum bisa merealisasikannya.
Semoga dengan semua apa yg telah saya lakukan dan perbuat Allah membukakan pintu rezeki dan
pintu berkahnya kepada saya agar saya dapat menentukan masa depan saya dengan
baik dan senantiasa dapat membuat kedua orang tua saya tersenyum dan bangga
terhadap saya… ^-^
Keampuhan Dongeng
Ingat cerita-cerita masa kanak-kanak? Anda masih ingat? Kebanyakan orang yang saya tanya menjawab “YA”.
Waktu kita masih anak-anak, kita suka sekali diceritakan sebuah dongeng
oleh orang tua, kakek-nenek atau orang lain. Dongeng dapat diceritakan
kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja. Tetapi, waktu yang
paling efektif adalah ketika menjelang tidur. Waktu menjelang tidur
adalah waktu yang terbaik dan sangat ampuh bagi orang tua untuk
menceritakan dongeng. Mengapa?
Waktu tidur adalah akhir dari kegiatan sehari-hari. Orang sudah
tidak mempunyai tugas lagi untuk dikerjakan selain tidur. Waktu ini
sangat ampuh karena kegiatan malam lebih sedikit dan hampir tidak ada.
Tubuh dan pikiran sudah santai dan siap untuk istirahat.
Pepatah kuno mengatakan, “Saat kamu sudah tua, kamu harus menjadi lebih
bijaksana karena otakmu sudah semakin lemah untuk mengingat-ingat. ”
Itulah mitos yang disebarkan di seluruh dunia. Inilah persepsi yang
salah yang dijadikan tradisi turun temurun dan tidak ada orang yang
menyangkalnya.
Kita diberi karunia lima panca indra oleh Tuhan, kita harus
menggunakannya dengan baik untuk membantu orang lain. Penuaan terjadi
tanpa terelakkan pada seluruh tubuh kita kecuali otak. Otak menjadi
lebih tajam jika kita terus mengasahnya. Banyak orang mengasahnya lewat
permainan, nyanyian dan penghafalan matematika.
Buku ini menyajikan cerita yang sederhana namun dilengkapi dengan
pengalaman lapangan penulis. Jika ada cerita yang sudah pernah Anda
dengar sebelumnya, jangan takut, teruslah membaca sampai selesai,
ciptakan versi yang lain dan ceritakan lagi dengan lingkup budaya Anda.
Empat Pertanyaan Sederhana Dalam menjual, sebelum Anda melakukan
tran-saksi, tanyalah pada diri Anda: “Siapakah pangsa pasarku?, Apa
kebutuhan mereka?, Bagaimana mereka bisa merasakan?, kemudian
“Langkah-langkah apa yang harus saya ambil?” Untuk mendapatkan
jawabannya Anda perlu memulainya dengan empat pertanyaan seder-hana.
Baik Anda sedang menciptakan kampanye langsung, membuat undangan baru,
atau bahkan menelepon konsumen Anda yang paling baik, Anda harus
memulainya dengan empat perta-nyaan sederhana ini:
1. Anda menjual kepada siapa? Anggap saja target Anda adalah Vice
President (direktur pemasaran) Marketing. Apakah Anda benar-benar tahu
orang ini? Apakah Anda benar-benar tahu dunia mereka, industrinya …
Apakah Anda tahu apa yang mengubah hidup mereka akhir-akhir ini?
Pencobaan dan pergumulan apa yang sedang dialami-nya? Apa yang penting
bagi mereka? Masalah-masalah apa yang perlu mereka pecahkan . sekarang
ini! Buatlah daftar tiga masalah yang mungkin mereka miliki, yang kamu
harap mereka miliki, dan kemudian kamu akan tahu sesuatu tentang mereka
. Jika daftar masalah tersebut adalah masalah yang dapat Anda pecahkan,
bagus!
2. Apa yang Anda ingin mereka pikirkan? Buatlah orang-orang ini
berpikir bahwa mereka baru saja menemukan suatu perusa-haan yang dapat
membantu mereka memecahkan masalah yang sedang benar-benar mereka
hadapi.
3. Apa yang Anda ingin mereka rasakan? Anda ingin mereka merasa
antusias terhadap perusahaan Anda … Bahwa perusahaan Anda adalah
pilihan yang aman, pilihan yang menarik dan mudah, yang mana target
Anda mungkin akan berkata: “Aku bisa saja menyelamatkan pekerjaanku,
bahkan mung-kin kenaikan pangkat jika aku menyelesaikan masalah ini.”
4. Langkah-langkah apa yang Anda ingin mereka ambil? Apakah Anda ingin
mereka menelepon Anda dan mencari tahu lebih banyak bagaimana Anda
telah membantu orang lain? Atau Anda ingin mereka merefe-rensikan Anda
pada seseorang dalam orga-nisasi lain untuk memastikan sang atasan
bahwa Anda punya potensi untuk meluang-kan waktu bersamanya. Lebih
spesifik!
Melakukan langkah-langkah ini bahkan sebelum Anda mulai mengembangkan
latihan Anda, Anda akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
langsung mencapai sasaran Anda.
Ingat, empat pertanyaan sederhana:
· Siapakah mereka?
· Apa yang Anda ingin mereka pikirkan?
· Apa yang Anda ingin mereka rasakan?
. Langkah-langkah apa yang Anda ingin mereka lakukan?
Kerja sedikit dan buat hasil yang banyak. Otak kita kecil tapi jika
kita dapat melatih dan “menggunakannya” dengan benar kita dapat
melakukan hal-hal yang luar biasa. Lihatlah Neil Amstrong yang mendarat
di bulan.
SEKARANG BUKAN WAKTUNYA UNTUK AFIKAAA, PSSIIII, KPSSII, POLISI GANTENG ATAU DARSEM... SEKARANG WAKTUNYA UNTUK...
SITIIII...BOCAH PENJUAL BAKSO
...
Saya sempat nonton acara
“Orang-Orang Pinggiran” di Trans7. Dada saya sesak menyaksikannya, air
mata saya meleleh tanpa bisa ditahan, tak mampu berkata-kata. Siti,
seorang bocah yatim yang ditinggal mati ayahnya sejak usia 2 tahun.
Kini Siti berumur 7 tahun. Sehari-hari sepulang sekolah Siti masih
harus berkeliling kampung menjajakan bakso. Karena ia masih anak-anak,
tentu belum bisa mendorong rombong bakso. Jadi bakso dan kuahnya
dimasukkan dalam termos nasi yang sebenarnya terlalu besar untuk anak
seusianya. Termos seukuran itu berisi kuah tentu sangat berat.
Tangan kanan menenteng termos, tangan kiri menenteng ember plastik
hitam berisi mangkok-mangkok, sendok kuah, dan peralatan lain. Dengan
terseok-seok menenteng beban seberat itu, Siti harus berjalan keluar
masuk kampung, terkadang jalanannya menanjak naik. Kalau ada pembeli,
Siti akan meracik baksonya di mangkok yang diletakkan di lantai. Maklum
ia tak punya meja. Terkadang jika ada anak yang membeli baksonya, Siti
ingin bisa ikut mencicipi. Tapi ia terpaksa hanya menelan ludah,
menahan keinginan itu. Setelah 4 jam berkeliling, ia mendapat upah 2000
perak saja! Kalau baksonya tak habis, upahnya hanya Rp. 1000,- saja.
Lembaran seribuan lusuh berkali-kali digulung-gulungnya.
Sampai di rumah, Siti tak mendapati siapapun. Ibunya jadi buruh
mencangkul lumpur di sawah milik orang lain. Tak setiap hari ia
mendapat upah uang tunai. Terkadang ia hanya dijanjikan jika kelak
panenan berhasil ia akan mendapatkan bagi hasilnya. Setiap hari kaki
Ibunda Siti berlumur lumpur sampai setinggi paha. Ia hanya bisa
berharap kelak panenan benar-benar berhasil agar bisa mendapat bayaran.
Hari itu Siti ingin bisa makan kangkung. Ia pergi ke rumah tetangganya,
mengetuk pintu dan meminta ijin agar boleh mengambil kangkung. Meski
sebenarnya Siti bisa saja langsung memetiknya, tapi ia selalu ingat
pesan Ibunya untuk selalu minta ijin dulu pada pemiliknya. Setelah
diijinkan, Siti langsung berkubang di empang untuk memetik kangkung,
sebatas kebutuhannya bersama Ibunya. Petang hari Ibunya pulang. Siti
menyerahkan 2000 perak yang didapatnya. Ia bangga bisa membantu Ibunya.
Lalu Ibunya memasak kangkung hanya dengan garam. Berdua mereka makan di
atas piring seng tua, sepiring nasi tak penuh sepiring, dimakan berdua
hanya dengan kangkung dan garam. Bahkan ikan asin pun tak terbeli, kata
Ibunda Siti. Bayangkan, anak sekecil itu, pulang sekolah
menenteng beban berat keliling kampung, tiba di rumah tak ada makanan.
Kondisi rumahnya pun hanya sepetak ruangan berdinding kayu lapuk,
atapnya bocor sana-sini. Sama sekali tak layak disebut rumah. Dengan
kondisi kelelahan, dia kesepian sendiri menunggu Ibunya pulang hingga
petang hari.
Sering Siti mengatakan dirinya kangen ayahnya.
Ketika anak-anak lain di kampung mendapat kiriman uang dari ayah mereka
yang bekerja di kota, Siti suka bertanya kapan ia dapat kiriman. Tapi
kini Siti sudah paham bahwa ayahnya sudah wafat. Ia sering mengajak
Ibunya ke makam ayahnya, berdoa disana. Makam ayahnya tak bernisan, tak
ada uang pembeli nisan. Hanya sebatang kelapa penanda itu makam ayah
Siti. Dengan rajin Siti menyapu sampah yang nyaris menutupi makam
ayahnya. Disanalah Siti bersama Ibunya sering menangis sembari
memanjatkan doa. Dalam doanya Siti selalu memohon agar dberi kesehatan
supaya bisa tetap sekolah dan mengaji. Keinginan Siti sederhana saja :
bisa beli sepatu dan tas untuk dipakai sekolah sebab miliknya sudah
rusak.
Ini adalah nama pulau Jawa dizaman dulu kala, merupakan
satu dari gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara yang disebut Nusantara,
pada dulu kala dinamakan Sweta Dwipa. Seluruh gugusan kepulauan di Asia
Selatan dan Tenggara dinamakan anak benua atau gugusan pulau-pulau
Jawata. Tanah Jawa
kita sebelum dihuni oleh orang, sebelumnya telah dihuni oleh golongan dewa-dewi
dan makhluk halus lainnya. Salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu
Bathara Wisnu, turun ke arcapada lalu menikah dengan Pratiwi, dewi Bumi.
Adapun sebuah teori geologi kuno
menyebutkan, sebuah proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan
selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang
bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang
kemudian melahirkan Gunung Himalaya. Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36
juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut,
sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan
mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah
Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian
daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang
satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa.
Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan
atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih
dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta
Dwipa atau Jawata.
Dulunya anak benua India dan
Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya
yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama
di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama. Al kisah, dalam kunjungan
resminya sebagai utusan raja, Empu Barang atau nama bangsawannya Haryo
Lembusuro, seorang pandhito terkemuka tanah Jawa, berkunjung ke Jambu Dwipa
(India). Sesampainya menginjakkan kaki di negeri Hindustan ini, oleh para
Brahmana setempat, Empu Barang diminta untuk bersama-sama menyembah patung
perwujudan Haricandana (Wisnu). Namun, dengan kehalusan sikap manusia Jawa,
Empu Barang menyatakan bahwa sebagai pandhito Jawa, dia tidak bisa menyembah
patung, tetapi para Brahmana India tetap mendesaknya, dengan alasan kalau
Brahmana dinasti Haricandana menyembahnya karena Wisnu dipercaya sebagai Sang
Pencipta Tribuwana. Dengan setengah memaksa, Empu Barang diminta duduk, namun
sewaktu kaki Empu Barang menyentuh tanah, tiba-tiba bumi bergoyang (tidak
disebutkan berapa kekuatan goyangannya dalam skala ritcher). Yang jelas, saking
hebatnya goyangan tersebut, patung tersebut hingga retak-retak. Memang, menurut
tata cara Jawa, penyembahan kepada Sang Penguasa Hidup itu bukan patung, tetapi
lewat rasa sejati, sehingga hubungan kawula dengan Gusti menjadi serasi. Itulah
Jumbuhing Kawula Dumateng Gusti.
Orang Jawa melakukan puja-puji
penyembahan kepada Gustinya langsng dari batinya, maka itu dalam
perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya dikenal
dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa. Bagi orang Jawa tentang
cerita waktu bumi Jawa belum dihuni manusia, telah dihuni oleh golongan
dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Dan salah satu putra Sang Hyang Jagad
Girinata, yaitu Bathara Wisnu turun ke arcapada menikah dengan Pratiwi, dewi
bumi.
Dalam pemahaman kejawen, hal itu disikapi dengan terjemahan, kalau Wisnu itu
artinya urip/hidup, pemelihara kehidupan. Jadi jelasnya awal mula adanya
kehidupan manusia di bumi, atas izin Sang Penguasa Jagad. Dewa perlambang
sukma, manusia perlambang raga. Begitulah hidup manusia, raganya bisa rusak,
namun sukmanya tetap hidup langgeng.
Kemolekan bumi Jawa laksana perawan rupawan yang amat jelita, sehingga Kerajaan
Rum (Ngerum) yang dipimpin Prabu Galbah, lewat laporan pendeta Ngali Samsujen,
begitu terpesona karenanya. Maka diutuslah dutanya yang pertama yang bernama
Hadipati Alip. Hadipati Alip berangkat bersama 10.000 warga Ngerum menuju Nuswa
Jawa. Mereka dalam waktu singkat meninggal terkena wabah penyakit. Tak tersisa
seorang pun. Lalu dikirimlah ekspedisi kedua dibawah pemimpinan Hadipati Ehe.
Malangnya, mereka juga mengalami nasib sama, tupes tapis tanpa tilas.
Masih diutus rombongan berikutnya,
seperti Hadipati Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Semuanya mengalami
nasib sama, tumpes kelor. Melihat semua itu, Prabu Galbah terkejut dan
mengalami shock hebat. Akibatnya, sakit jantungnya kambuh. Dia kemudian jatuh
sakit, dan dalam waktu tak lama mangkat. Pendeta Ngali Samsujen, merasa
bersalah karena nasehatnya menimbulkan malapateka ini terjadi. Akhirnya beliau
mati dalam rasa bersalah. Tinggal Mahapati Ngerum, karena rasa setianya, dia
ingin melanjutkan missi luhur yang dicita-citakan rajanya. Dia akhirnya ingat
pada sahabatnya yang sakti bersanama Jaka Sangkala alias Aji Saka, yang tinggal
di Tanah Maldewa atau Sweta Dwipa.
Habisnya para migran dari Ngerum
ke Tanah Jawa itu, menurut Jaka Sangkala adalah karena hati mereka yang kurang bersih.
Mereka tidak meminta izin dahulu pada penjaga Nuswa Jawa. Padahal, karena sejak
zaman dahulu, tanah ini sudah ada yang menghuni. Yang menghuni tanah Jawa
adalah manusia yang bersifat suci, berwujud badan halus atau ajiman (aji
artinya ratu, man atau wan artinya sakti). Selain penghuni yang baik, juga
dihuni penghuni brekasakan, anak buah Bathara Kala. Makanya tak ada yang berani
tinggal di bumi Jawa, sebelum mendapat izin Wisnu atau manikmaya atau Semar. Akhirnya,
Mahapati Ngerum diantar Aji Saka menemui Wisnu dan isterinya Dewi Sri Kembang.
Saat bertemu, dituturkan bahwa wadyabala warga Ngerum yang mati tidak bisa
hidup lagi, dan sudah menjadi Peri Prahyangan, anak buah Batara Kala. Tapi ke-8
Hadipati yang gugur dalam tugas itu berhasil diselamatkan oleh Wisnu dan
diserahi tugas menjaga 8 mata angin. Namun mereka tetap menghuni alam halus.
Atas izin Wisnu, Mahapati Negrum
dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa untuk menghadap Semar di Gunung Tidar.
Tidar dari kata Tida; hati di dada, maksudnya hidup. Supaya selamat, oleh
Wisnu, Mahapati Ngerum dan Aji Saka diberi sifat kandel berupa rajah Kalacakra,
agar terhindar dari wabah penyakit dan serangan anak buah Batara Kala.
Kisah di atas hanya merupakan gambaran, bahwa ada makna yang tersirat di
dalamnya. Wisnu dan Aji Saka itu dwitunggal, bagaikan matahari dan sinarnya,
madu dan manisnya, tak terpisahkan. Loro-loro ning atunggal. Maka itu, keraton
Wisnu dan Aji Saka itu di Medang Kamulan, yang maksudnya dimula-mula kehidupan.
Kalau dicermati, intinya adalah kawruh ngelmu sejati tentang kehidupan manusia
di dunia, sejak masih gaib hingga terlahir di dunia, supaya hidup baik,
sehingga kembalinya nanti menjadi gaib lagi, perjalanannya sempurna.
Singkat cerita, perjalanan ke
tanah Jawa dipimpin oleh Aji Saka dengan jumlah warga yang lebih besar, 80 ribu
atau 8 laksa, disebar di berbagai pelosok pulau. Sejak itulah, kehidupan di
tanah Jawa Dwipa yang disebut masyarakat Kabuyutan telah ada sejak 10.000 SM,
tetapi mulai agak ramai sejak 3.000 SM. Sesudah kedatangan pengaruh Hindu,
muncul kerajaan pertama di Jawa yang lokasinya di Gunung Gede, Merak. Rajanya
Prabu Dewowarman atau Dewo Eso, yang bergelar Sang Hyang Prabu Wismudewo. Raja
ini memperkuat tahtanya dengan mengawini Puteri Begawan Jawa yang paling
terkenal, yakni Begawan Lembu Suro atau Kesowosidi di Padepokan Garbo Pitu
(penguasa 7 lapis alam gaib) yang terletak di Dieng atau Adi Hyang (jiwa yang
sempurna), juga disebut Bumi Samboro (tanah yang menjulang tinggi). Puterinya
bernama Padmowati atau Dewi Pertiwi.
Dari permenikahan campuran itu,
lahirlah Raden Joko Pakukuhan, yang kelak di kemudian hari menggantikan tahta
ayahnya di kerajaan Jawa Dwipa atau Keraton Purwosarito, dan bergelar Sang
Prabu Sri Maha Panggung. Lalu keraton dipindah lokasinya ke Medang Kamulan. Penggantinya
adalah putranya Prabu Palindriyo. Dari permenikahannya dengan puteri Patih
Purnawarman, Dewi Sinto, lahir Raden Radite yang setelah bertahta dan bergelar
Prabu Watuguung. Dia memerintah selama 28 tahun. Pemerintahannya mempunyai
pengaruh kuat di Jawa Barat. Adalah kakaknya, Prabu Purnawarman yang membuat
Prasasti Tugu, sebelah timur Tanjung Priuk dalam pembuatan saluran Kali Gomati,
Prasasti Batu Tulis di Ciampea, Bogor.
Untuk menguasai Jawa Timur, Prabu
Watugunung mengawini puteri Begawan Kondang, yaitu Dewi Soma dan Dewi Tumpak.
Dia juga mengawini Ratu Negeri Taruma yang bernama Dewi Sitowoko. Dalam
pemerintahannya terjadi perebutan tahta dengan Dewi Sri Yuwati, saudara lain
ibu (Dewi Landep). Dewi Sri Yuwati dibantu adiknya lain ibu, Joko Sadono
(putera Dewi Soma). Akhirnya Prabu Watugunung berhasil dikalahkan, dan Joko
Sadono menggantikan tahtanya dengan gelar Prabu Wisnupati, permaisurinya Dewi
Sri. Kakak Dewi Sri diangkat sebagai raja Taruma, bergelar Prabu Brahma Raja.
Dahulu ,anak benua di India
disebut Jambu Dwipa, sedangkan seluruh kepulauan Nusantara disebut Sweta Dwipa.
Karena Jambu Dwipa dan Sweta Dwipa berasal dari daerah yang sama, maka tidak
heran kalau budayanya banyak yang menyerupai atau dalam perkembangan saling
mempengaruhi. Dari perkembangan geografis, pada 20 hingga 36 juta tahun lalu,
di Asia bagian selatan terjadi proses bergeraknya anak benua India ke utara,
mengakibatkan tabrakan dengan lempengan yang diutara, akibatnya ada tanah yang
mencuat keatas , yang kini dikenal sebagai gunung Himalaya.Pada saat itu
dataran Cina masih terendam lautan.Anak benua yang diselatan dan tenggara
,yaitu Jawata, termasuk Sweta Dwipa dan Jawa Dwipa muncul sebagai pulau-pulau
mata rantai gunung berapi.
Keturunan dewa
Dalam cerita kuno dikatakan bahwa
orang Jawa itu anak keturunan atau berasal dari dewa. Dalam bahasa Jawa orang
Jawa disebut Wong Jawa, dalam bahasa ngoko-sehari-hari, artinya : wong itu dari
kata wahong Jawa, artinya orang Jawa itu adalah anak keturunannya dewa. Begitu
pula Tiyang Jawa itu dari Ti Hyang Jawa artinya juga sama, yaitu anak keturunan
dewa ,dalam bahasa krama inggil—halus. Jawata artinya adalah dewa, gurunya
orang Jawa. Menurut pedalangan wayang kulit, keindahan pulau Jawa dikala itu
telah menarik perhatian dewa dewi dari kahyangan, sehingga mereka turun ke
marcapada, tanah Jawa dan membangun kerajaan-kerajaan pertama di Jawa
Dwipa.Raja Kediri, Jayabaya adalah Dewa Wisnu yang turun dari
kahyangannya.Jayabaya amat populer di Jawa dan Indonesia karena ramalannya yang
akurat mengenai sejarah perjalanan negeri ini dan berisi nasihat-nasihat bijak
bagi mereka yang memegang tampuk pimpinan negara, para priyayi/pejabat negara,
tetapi juga untuk kawula biasa. Ajarannya mengenai perilaku yang baik benar
sebenarnya juga mempunyai kebenaran universal.
Kerajaan Pertama
Jawa Dwipa, menurut salah satu
sumber adalah kerajaan dewa pertama di pulau Jawa , letaknya di gunung Gede,
Merak, dengan rajanya Dewo Eso atau Dewowarman yang bergelar Wisnudewo. Ini
melambangkan dewa kahyangan, permaisurinya bernama Dewi Pratiwi, nama dari Dewi
Bumi. Dia adalah putri dari seorang begawan Jawa yang terkenal yaitu Begawan
Lembu Suro yang tinggi elmunya/pengetahuan spiritualnya ,. yang mampu hidup di
tujuh dimensi alam (Garbo Pitu), tinggal di Dieng (letak geografis di Jawa
Tengah).
Dieng dari Adhi Hyang artinya
suksma yang sempurna.
Permenikahan Wisnudewo dengan
Dewi Pratiwi melambangkan turunnya dewa yang berupa sukma untuk menetap dibumi.
Keberadaannya di bumi aman dan bisa berkembang karena didukung oleh daya
kekuatan bumi yang digambarkan sebagai Begawan Lembu Suro.
Betara Guru
Kecantikan Pulau Jawa bahkan
menarik hati Rajanya para dewa yaitu Betara Guru untuk mendirikan kerajaan
dibumi. Turunlah dia dari domainnya di Swargaloka dan memilih tempat tinggal di
gunung Mahendra. ( Kini disebut Gunung Lawu terletak diperbatasan Jawa Tengah
dan Jawa Timur antara Surakarta dan Madiun). Betara Guru punya nama lain Sang
Hyang Jagat Nata , ratunya Jagat Raya – The king of the Universe dan Sang Hyang
Girinata, ratunya gunung-gunung,—the King of Mountains. Di kerajaan Mahendra,
Sorga yang agung — The great Heaven , Betara Guru memakai nama Ratu Mahadewa.
Karaton kerajaan Mahendra
dibangun mirip seperti karatonnya yang di Kahyangan. Piranti-piranti sorga juga
dibuat, antara lain:
vGamelan, seperangkat alat
musik untuk hiburan para dewa dengan menikmati alunan suaranya yang merdu dan
saat sedang menari/olah beksa. Menari/olah beksa itu bukanlah sekedar
mengayunkan raga mengikuti ritme musik tetapi merupakan latihan untuk
konsentrasi dan selanjutnya kontemplasi untuk mengenal jati diri dan menemui
Sang Pencipta (seperti Yoga dalam arti yang sebenarnya) . Nama gamelan itu
adalah Lokananta.
vPatung-patung penjaga
istana yaitu Cingkarabala dan Balaupata , yang diletakkan dikanan-kiri pintu
gerbang istana. Artinya istana dijaga kuat sehingga aman.
vPusaka berupa keris ,
cakra, tombak, panah, dll dibuat oleh empu terkenal yaitu Empu Ramadhi .
Raja Dewa yang lain
Setelah para dewa bisa tenang
tinggal dibumi Jawa , menikah dengan putri pribumi dan punya anak keturunan,
Betara Guru kembali ke Kahyangan. Beberapa putranya ditunjuk untuk
meneruskan memimpin kerajaan-kerajaan selain di Jawa juga di Sumatra dan Bali.
Di Sumatra
Sang Hyang Sambo bergelar Sri
Maharaja Maldewa, di kerajaan Medang Prawa, di gunung Rajabasa .( Didekat
Ceylon sekarang ada negeri Maldives).
Di Bali
Sang Hyang Bayu , bergelar Sri
Maharaja Bimo, di Gunung Karang , kerajaannya Medang Gora. ( Pulau Bali juga
terkenal sebagai Pulau Dewata)
Di Jawa
oSang Hyang Brahma bergelar
Sri Maharaja Sunda, di gunung Mahera , Anyer, Jawa Barat. Kerajaannya Medang
Gili.( Asal mulanya penduduk yang tinggal di Jawa bagian barat disebut orang
Sunda).
oSang Hyang Wisnu bergelar
Sri Maharaja Suman , di gunung Gora , Gunung Slamet , Jawa Tengah. Kerajaannya
Medang Puro.
oSang Hyang Indra, bergelar
Sri Maharaja Sakra, di gunung Mahameru, Semeru , Jawa Timur. Kerajaannya Medang
Gana.
Karaton dipuncak gunung
Menarik untuk diperhatikan bahwa
para dewa selalu membangun karaton dipuncak-puncak gunung. Ini menggambarkan
dewa itu berasal dari langit, dari tempat yang tinggi. Tempat tinggi, diatas
itu artinya bersih, jauh dari hal-hal kotor, sikap harus dijaga tetap suci,
baik, benar, sopan, bagi dewa yang telah menjadi manusia dan tinggal dibumi.
Bumi Samboro
Ini artinya tanah yang menjulang
kelangit. Dalam kebatinan Kejawen, contohnya adalah Gunung Dieng, Adhi Hyang,
maksudnya supaya orang selama masih hidup didunia mencapai puncak pengetahuan
spiritual, mendapatkan pencerahan jiwani, tinggi elmunya, suci lahir batin.
Puncak itu adalah Adhi Hyang atau Bumi Samboro.
Dewo ngejowantah
Dewa yang menampakkan diri. Dewa
yang berbadan cahaya bisa menampakkan diri dan dilihat oleh saudara-saudara
kita yang telah tinggi tingkat kebatinannya, yang sudah bontos elmu sejatinya.,
artinya sudah melihat kasunyataan—kenyataan sejati.
Dipandang dari sudut spiritualitas, turunnya dewa ke bumi
adalah gambaran dari merasuknya suksma, spirit, jiwa kedalam badan manusia dan
lalu menjadi manusia. Oleh karena itu, manusia termasuk manusia Jawa adalah
berasal dari suksma, spirit, dewa.
Pulau Jawa merupakan bagian dari
gugusan kepulauan sunda besar dan paparan sunda,
yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus,
yang populer dijuluki Si Manusia Jawa, ditemukan di sepanjang daerah
tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut
berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau. Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur mengalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja
batu, dan piramida berunduk yang
lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di
situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, jawa barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur
monolit, teras batu, dan Sarkofagus , Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur
asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan
Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban
Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke 4 SM hingga abad ke 1 atau ke 5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir
utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan Tarumanegara.
Pulau Jawa yang sangat subur dan
bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah,
sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin
kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan
kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya
yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior
pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar.
Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme
Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan utama perhubungan masyarakat, meskipun
kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sugai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak
jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari
kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu sistem
perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos
pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad
ke-17. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim
hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula
penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus.
Sebuah teori geologi kuno
menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan
adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan
dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian
melahirkan Gunung Himalaya.
Konon, proses tersebut terjadi
pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam
air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang
merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah
Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian
daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang
satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa.
Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan
atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih
dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta
Dwipa atau Jawata.
Mengingat kalau dulunya anak
benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau
ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga
perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.
Sejarah tanah Jawa dapat ditemukan dalam Babad-babad yang menceritakan
kelahiran kerajaan-kerajaan di Jawa. Namun demikian, sejarah tersebut penuh
dengan mitos dan tampaknya kurang dapat diterima karena versinya yang amat
beragam. Terlebih ada motif tertentu dari seroang raja memerinth seroang Mpu
atau pujangga untuk menyusun silsilahnya sampai kepada nabi Adam yang
dimaksudkan untuk semakin mentahbiskan dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi.
Penegasan silsilah itu dimaksudkan untuk semakin memperteguh kewibawaannya di
mata khalayak rakyat. Cerita itu sulit diterima kebenarannya karena tidak
diperkuat dengan bukti terjadinya peristiwa namun demikianlah adanya saat
itu.
Memang mengenai Jawa bisa ditemukan berbagai tulisan sebagai bukti, akan
tetapi bukti yang didapat isinya samar-samar. Sehingga hanya memperkuat
kejadian tertentu saja. Pada saat ini, sebagaimana yang banyak disebutkan dalam
beberapa sumber, sejarah Jawa dimulai dari kedatangan Aji Saka tahun 78 atau
125 M. Kemudian, dalam buku Etika Jawa, Franz Magnis menyebutkan asal-usul
penduduk Jawa berasal dari perpindahan penduduk dari Melayu yang berasal dari
Cina Selatan yang dimulai sejak tahun 3.000 SM. Ia berpendapat demikian sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh J.H. Kerm dalam buku Linguistic Materials
for the determination of the Century of Origin of the Malay People.